DAERAH

Ketua STES Tubaba Sayangkan Framing Negatif Media TV terhadap Pesantren

×

Ketua STES Tubaba Sayangkan Framing Negatif Media TV terhadap Pesantren

Share this article

TULANG BAWANG BARAT – Kontroversi terkait tayangan di salah satu stasiun televisi swasta pada beberapa hari yang lalu menuai berbagai macam tanggapan dari berbagai kalangan yang tidak luput pula Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Syariah (STES) Tunas Palapa Kabupaten Tulangbawang Barat (Tubaba) Lampung, Nurkholis Majid memberikan tanggapannya.

Dikatakan Nurkholis kepada media ruwajurai.com pada saat di wawancara melalui telepon pada Rabu (15/10/2025) bahwasanya dalam tayangan tersebut, publik disodorkan narasi visual yang menggambarkan pesantren sebagai ruang feodalisme di mana ada kyai menerima amplop dari santri.

Lebih lanjut, Framing semacam ini tentu memantik kegelisahan banyak kalangan, terutama keluarga besar pesantren. Masalahnya bukan semata pada fakta visual yang disajikan, melainkan pada paradigma yang melatarinya.

“Media, dengan kacamata eksternal (paradigma etik), melihat fenomena pesantren dengan logika institusi modern sekuler hubungan guru-murid dipahami semata-mata dalam kerangka relasi pedagogik formal, seperti sekolah umum,” ungkapnya.

Selain itu, dirinya menjelaskan bahwasanya dunia pesantren memiliki paradigma yang berbeda, yakni cara pandang dan sistem makna yang lahir dari dalam tradisi itu sendiri. Maka dalam konteks ini, ada makna yang dihidupi sebenarnya.

Pendekatan fenomenologi mengajarkan bahwa untuk memahami sebuah realitas sosial, seseorang harus masuk ke dalam horizon makna para pelakunya. Dalam dunia pesantren, relasi kiai dan santri bukanlah relasi transaksional . Ia adalah relasi spiritual, keilmuan

“Menghormati kyai dengan cara duduk sopan, “ngesot” (meski ini ngesot ini tidak berlaku pada semua pesantren), atau mencium tangan bukanlah tanda perendahan diri, melainkan ekspresi ta‘zhim—sebuah bentuk penghormatan yang dihidupi sebagai nilai spiritual dan rasa cinta kepada guru,” jelasnya.

Jika fenomena ini dipahami dengan paradigma luar dan liar, tentu akan terlihat “feodal” atau “tidak egaliter”. Namun bila dilihat dari dalam, maknanya justru sangat luhur. Sebab kiai diposisikan sebagai mursyid (pembimbing ruhani) dan pewaris ilmu, sementara santri berperan sebagai murid yang mengabdi untuk mencari keberkahan ilmu, bukan sekadar ijazah..

“Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga ruang reproduksi nilai-nilai sosial dan spiritual. Tradisi kerja bakti (ro’an) bukanlah perintah jongos, melainkan pembiasaan gotong royong, tanggung jawab kolektif, dan adab melayani. Lagi pula ro’an (kerja bakti) itu biasa utk membersihkan kamar mandi dan halaman pesantren supaya bersih. Kalau ada sebagian yang ikut bantu kiai, biasanya mereka santri khusus, mereka dibebaskan syariahnya atau ditanggung makan minumnya oleh kiainya. Ini yg tidak dimengerti media atau orang di luar pesantren.” tegasnya.

Ciri khas nilai-nilai positif pesantren mencerminkan akar budaya dan spiritual Islam yang kuat. Pesantren bukan hanya tempat pendidikan agama, tetapi juga tempat pembentukan karakter. Berikut adalah beberapa ciri khas nilai-nilai positif yang umumnya dijunjung tinggi dalam kehidupan pesantren yakni Keikhlasan, Kesederhanaan, Kemandirian, Kedisiplinan, Tawadhu’ (Rendah Hati), Ukhuwah Islamiyah (Persaudaraan), Taat kepada Guru dan Orang Tua, Istiqomah, Zuhud, Sabar dan Tahan Uji. (Aldo).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *